Orang
Bukit atau yang sering dikenal sebagai Masyarakat Adat Meratus merupakan
penamaan sekelompok orang yang mendiami kawasan Pegunungan Meratus, terutama
yang tinggal antara daerah hulu aliran Sungai Pitap dan Riam Kiri, khususnya
lagi yang mendiami kawasan hulu Sungai Batang Alai. Pada awalnya Orang Bukit
dipakai olehW. Grabowski, seorang misionaris yang menulis Die Orang Bukit oder Bergmenschen von Mindai (1885: 782-786). Dari
judul tulisannya tersebut, ia memberi pengertian dari Orang Bukit sebagai orang
gunung (Bergmenschen) atau
orang-orang yang tinggal di daerah pegunungan. Namun bisa jadi, pengertian
Orang Bukit sebagai Orang Gunung karena Kampung Mindai (sekarang berada dalam
daerah administratif desa Pambakulan) terletak di kawasan yang bergunung-gunung.
Berbeda
dengan pengertian yang diberikan oleh Grabowski, istilah “Bukit” yang
menggambarkan pengertian gunung yang tinggi maupun yang rendah dalam bahasa
Bukit dan bahasa Banjar Hulu adalah mungkur,
munjal, dan gunung. Meski
kenyataannya Orang Bukit atau Masyarakat Adat Meratus tinggal di kawasan yang
bergunung-gunung sekarang ini, namun tidak ditemukan dongeng, mite, ataupun
legenda yang berisi petunjuk bahwa nenek moyang Orang Bukit berasal dari
pegunungan tertentu. Justru sebaliknya, petunjuk kuat yang terdapat di dalam
dongeng-dongeng yang hidup di dalam masyarakat Bukit, bahwa nenek moyang mereka
berasal dari dataran rendah di suatu muara sungai di tepi laut. Selain itu ada
petunjuk lain yang menjelaskan bahwa Orang Bukit bukanlah penduduk asli
pegunungan, yaitu adanya sejumlah peralatan upacara yang melambangkan kehidupan
di muara sungai atau di pesisir. Seperti parahu
malayang (perahu terapung), tihang
layar (tiang layar), dan balai
bajalan (balai berpindah-pindah). Selain itu ada ungkapan-ungkapan,
perilaku, dan tarian yang menggambarkan
kehidupan orang tepi pantai. Seperti menanam padi yang dikatakan “mengantar
padi berlayar” ; ladang atau huma
disebut “pulau”, laut tempat berlayar, laut tempat memohon. Pada upacara Manyangga Banua (upacara melindungi
kampung halaman dari mara bahaya dan bencana), ada suatu tarian yang disebut balian bakalaut, yakni si balian digambarkan sedang menuju ke laut
untuk membuang sial dan membuang sumber marabahaya yang mungkin menimpa bubuhan dan kampung halaman.
Menurut
keterangan para tetuha balai dan bubuhan, mereka atau nenek moyang mereka dahulunya tinggal di
kampung-kampung yang sekarang ini dihuni oleh Orang Dagang (sebutan mereka terhadap Orang Banjar Hulu dan
Pedangang). Masyarakat Bukit berpindah mengudik sungai-sungai menuju daerah
yang bergunung-gunung untuk mempertahankan diri. Selain itu juga karena adanya
konflik sosial yang berkepanjangan akibat perbedaan latar belakang keyakinan
dan ekonomi. Sehingga adanya usaha untuk menguasai lahan pertanian yang subur
melawan pendatang baru yang berkeinginan sama. sehingga dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya Masyarakat Bukit merupakan hasil perpindahan dari daerah pesisir
atau yang sekarang daerah Banjar ke daerah Pegunungan. Namun, pertanyaan yang
muncul kemudian adalah, kapan masyarakat Bukit pindah dari pesisir atau muara
sungai ke daerah pegunungan?
Sebutan bukit yang diterapkan kepada orang
mengandung makna negatif. Bila seseorang dikatakan bukit, maka yang
bersangkutan adalah orang yang tidak beradab, tidak bisa dipercaya, karena
konotasi yang demikian, maka mereka enggan menyebut diri orang bukit. Mereka
lebih suka mengidentifikasikan diri sebagai orang yang berasal dari bubuhan tertentu seperti bubuhan Alai, Bubuhan Kiyu, Bubuhan Hamandit,
dsb.
Walau
istilah bukit mengandung pengertian yang negatif serta akhirnya dipandang
sebagai istilah penghinaan, pengertian bukit dalam arti sebenarnya adalah
bagian bawah suatu pohon. Bukit adalah rumpun pokok yang melahirkan dahan dan
ranting atau pohon-pohon lainnya. Dengan demikian artinya orang Bukit adalah
sekelompok orang atau rumpun keluarga pertama yang merupakan cikal-bakal
masyarakat lainnya.
Ciri
khas masyarakat Bukit sebagai masyarakat pemulai adalah berpegangnya secara
ketat kepada adat yang bagi mereka adalah tata aturan kehidupan. Adat tidak
boleh diganggu. Bila terjadi, maka pelanggar akan mengalami kapiradaan, yakni kutukan pidara nenek
moyang berupa musibah yang beruntun dan penyakit yang berkepanjangan yang
menimpa yang bersangkutan. Diyakini tidak hanya musibah bagi pelanggar, tetapi
juga menimpa sekalian bubuhannya.
Bagi orang bukit adat adalah akar kehidupan, seseorang yang tidak mematuhinya
akan dikucilkan dari bubuhannya dan harus tinggal dan hidup di antara orang
dagang.
Bagi Orang Bukit, adat dipahami sebagai (a)
dasar tindakan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, (b) sesuatu yang
tidak dapat diubah begitu saja tanpa kehilangan ikatan berkelompok atau berbubuhan, (c) sebagai titik tolak dan
pedoman menanggapi hal baru. Adat disadari sebagai sesuatu yang mendasari
keunikan mereka dan membedakan antara Orang Bukit dengan Orang Banjar Hulu atau
Orang Dagang lainnya. Adat pula yang
mengatur prosedur dan cara berladang sejak awa mencari lahan baru hingga
memanen dan memasukkan padi ke dalam lumbung; merawat ibu yang melahirkan;
merawat orang sakit dan orang yang meninggal dunia; adat pula yang mengatur
prosedur dan cara perkawinan.
Masyarakat
Bukit mengembangkan beberapa kegiatan mata pencaharian, yakni meramu hasil
hutan, berladang berpindah-pindah, bersawah dan berkebun karet. Diantara mata
pencaharian itu hanya berladang yang dipandang ada adatnya, karena berkebun
merukan agama nenek moyang. Berladang bukan saja pekerjaan kaum lelaki, tapi
juga kaum perempuan dan melibatkan anak-anak sejak mereka bisa berjalan. Bahkan
anak-anak punya tugas pokok menjaga ladang. Bagi Orang Bukit, berladang itu
adalah hal yang unik dan kompleks. Bukan hanya disebabkan karena pekerjaan
turun-temurun yang utama tapi juga pengenalan musim didasarkan atas macam dan
nama kegiatan berladang. Kompleksitas berladang terlihat dalam banyak upacara
bagi setiap tahap pertumbuhan padi, kaitannya dengan usaha pelestarian
lingkungan dan dengan kehidupan keagamaan. Bagi Orang Bukit, berladang
berpindah-pindah adalah adat nenek moyang yang sudah baku, termasuk setiap
tahap dan kegiatannya, karena setiap tahap dan kegiatan berladang telah
didasari oleh keyakinan tertentu.
Sistem
keyakinan dan bahasa masyarakat Bukit menjadi simpul alasan kultural bahwa
Orang Bukit dahulunya mendiami daerah-daerah dataran rendah dan daerah-daerah
aliran sungai Negara, Sungai Batang Alai, Sungai Hamandit, Sungai Tapin, dan
Kawasan muara Sungai Martapura serta tepi laut. Dalam keyakinan masyarakat
Bukit dikenal adanya tiga kelompok roh pemelihara kawasan pemukiman dan tempat
tinggal. Kelompok roh itu adalah sia-sia
Banua, Bubuhan Aing, dan Kariau.
Ketiga roh itu harus diundang dan dipuja-puji dalam berbagai upacara tidak saja
yang berhubungan dengan tempat pemukiman dan sungai-sungai disekitarnya yang
langsung dengan yang langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari, tetapi
terlebih-lebih lagi roh-roh pemelihara kampung halaman nenek moyang di segala
tempat yang pernah dihuni dan dipetik hasilnya, baik yang ada di atas bumi
maupun di bawah air. Karena itu sejumlah Sia-sia
banua, Bubuhan Aing, dan Kariau yang identitasnya berdasarkan
nama-nama daerah yang sekarang dihuni oleh Orang Banjar Hulu atau Orang Banjar Kuala.
(sumber
bacaan : Religi Orang Bukit)
Komentar
Posting Komentar