Langsung ke konten utama

KARTINI : REFLEKSI DI TENGAH KONTROVERSI


 Senjakala di hari Kartini

Semoga tulisan sederhana ini masih belum terlambat untuk sekedar dijadikan sebagai ucapan selamat  penyemangat kepada para perempuan di setiap sudut negeri.

 Menjelang 21 April  pasca reformasi, terutama sejak maraknya media sosial, biasanya begitu banyak gugatan kontroversi  kepada Kartini dalam penetapannya sebagai pahlawan emansipasi wanita nasional. Banyak pihak-pihak yang kontra dengan penetapan tersebut dengan mengatakan bahwa masih banyak tokoh-tokoh lain yang jasanya lebih hebat dan nyata daripada Kartini.

Mengapa Kartini? Yang hanya menulis surat kepada para sahabat dan kenalannya di negeri Belanda? Yang hanya mengajar baca tulis kepada beberapa perempuan. Meninggal di usia muda, pula...

Mengapa Kartini? Bukan perempuan-perempuan pejuang yang lebih baik tindakannya dibanding Kartini?
Cut Nyak Dhien di Aceh, misalnya. Sosok pejuang perempuan terkenal yang tidak pernah mau tunduk kepada Belanda sepanjang hidupnya. Roehana Koedoes (1884-1972) yang justru tercatat sebagai jurnalis perempuan pertama di Hindia Belanda mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Roehana School (1916), malahan ia menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri. Atau Dewi Sartika, yang mendirikan sekolah di Pasundan untuk Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia Belanda. Mengapa bukan sosok perempuan-perempuan perkasa seperti itu?

Sekali lagi.

Mengapa Kartini yang dijadikan pahlawan nasional?

Biasanya, para penggungat itu telah mempunyai jawabannya masing-masing. Karena Kartini orang Jawa. Karena Kartini dekat penguasa. Karena konspirasi politik dari para penguasa. Penegas bahwa orang yang dekat dengan penguasa akan mampu menjadi apa saja walau hanya sebiji sawi  yang dilakukan. Dan macam-macam kalimat yang mendiskreditkan penetapan Kartini sebagai pahlawan emansipasi.

Baik.

Mari kita diam sejenak.

Mengembara dalam imaji masa lalu dan berkontemplasi menarik imaji itu menjadi sebuah simpul untuk memahami alasan dibalik penetapan Kartini sebagai pahlawan emansipasi. Sebuah jawaban yang sebenarnya  telah amat lama masih diperbincangkan hingga saat ini.

“Karena Kartini Menulis,” begitu wacana Helvy Tiana Rosa dalam sebuah diskusi sastra.

“Ia menuliskan surat-surat yang berisi gejolak, pemikiran serta visinya tentang emansipasi perempuan. Lantas, surat-surat itu dibukukan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.”

Kita perlu merenungi wacana dari Helvy Tiana Rosa tersebut. Menurut Abraham Maslow, tingkat kebutuhan tertinggi dari seseorang adalah eksistensi diri. Kebutuhan untuk diakui. Apabila seseorang berhasi memuaskan kebutuhan eksistensi diri ini, maka dia dianggap memiliki kadar kemanusiaan yang tertinggi.

Menulis adalah sarana pengekspresian ide.  Ide bukanlah produk kosong. Ia merupakan hasil analisis dari informasi yang masuk dalam korteks otak kita. Seseorang dapat dinilai memiliki informasi yang mendalam dengan melihat produk ekspresi ide mereka.

Menulis adalah ekspresi ide yang paling cerdas, sistematis, efisien dan awet. Kartini telah memilih pengekspresian idenya dengan sangat tepat mengingat Kartini adalah sosok perempuan kebanyakan; patuh pada ayahnya, terkukung budaya, dan menjadi istri ketiga dari seorang penguasa.

Ya. Kartini adalah sosok perempuan kebanyakan. Bukan perempuan super dan perkasa yang bisa mengangkat senjata dan memimpin perang mengusir penjajah. Kartini adalah seorang perempuan kebanyakan  yang patuh pada budaya dan orangtuanya. Hanya perempuan yang ingin belajar ke Belanda namun ia tidak diizinkan oleh ayahnya. Bahkan pada akhirnya ia mau menjadi istri ketiga dari penguasa Rembang padahal di lubuk sanubari nya sangat menentang poligami. Dengan keresahan-keresahan hatinya melihat keadaan di sekitar kehidupannya itu, ia hanya ingin melakukan suatu hal agar kehidupan menjadi lebih ideal di matanya.

Lalu kembali ke pertanyaan awal. Kenapa Kartini yang hanya menulis surat berisi curahan hatinya yang kemudian surat-surat itu diterbitkan dan dikumpulkan? Bukan Roehana Koedoes yang justru tercatat sebagai jurnalis perempuan pertama di Hindia Belanda?

Karena Kartini berbeda.

Ia melawan dalam diam. Ia hanya mampu berjuang dengan ujung penanya. Usaha konkrit yang dilakukannya hanya membuat sekolah kecil agar perempuan-perempuan yang tinggal di sekitarnya bisa mengecap pendidikan walau hanya sekedar baca tulis. Banyak perempuan yang gugur dalam medan perang demi kemerdekaan Indonesia. Namun yang berjuang untuk nasib perempuan hanya sedikit.

Karena sejarah mencatat, bahwa Kartini-lah yang pertama kali memikirkan nasib perempuan pada zaman itu saat organisasi intelektual yang mewadahi bumiputera untuk melawan penjajah belum ada. Maka sudah tentu, Kartini tidak mempunyai wadah untuk melawan sistem yang ada. Jangankan wadah yang bisa menampung pemikiran, hendak belajar ke Belanda saja tidak diizinkan hanya karena ia perempuan! Justru ia dipingit di masa remajanya sesuai adat yang berlaku saat itu. Dan Kartini adalah orang yang patuh. Sama seperti perempuan kebanyakan. Ia hanya bisa menyuarakan penindasan yang ia alami dan para perempuan yang berada di sekitar hidupnya, yang mendapat diskriminasi dan perlakuan yang menurutnya tidak adil hanya karena berjenis kelamin perempuan. Hanya Kartini yang melakukan itu yang ia tuangkan dalam surat-suratnya.

Dewi  Sartika, benar ia mendirikan sekolah tapi ia tidak secara spesifik mengangkat dan membedah persoalan yang dialami oleh kaum perempuan dan menuangkannya ke dalam tulisan.

Roehana Koedoes apalagi, lahir sebagai perempuan Minang, tempat di mana perempuan begitu diistimewakan. Bukan perempuan, justru laki-lakilah yang menuntut hak yang setara.

Latar belakang ini kontras dengan yang dihadapi oleh Kartini. Ia lahir dan besar dalam suasana feodal Jawa di mana kaum perempuan mendapat diskriminasi yang luar biasa. Tidak bisa mengembangkan sisi intelektualitasnya sebagaimana laki-laki. Dan Kartini, di tengah suasana seperti itu mampu memanfaatkan situasi untuk mengekspresikan ide-idenya melalui tulisan.

Ya, memang masa itu, tidak hanya Kartini saja yang bisa membaca dan menulis. Ada banyak perempuan yang berasal dari kalangan yang mempunyai akses serupa dengan  Kartini untuk bisa melakukan surat menyurat. Tapi hanya Kartini, yang melakukan surat menyurat dan mencurahkan perasaan dan ide-idenya tentang nasib perempuan.

Kini, hingga beratus tahun berlalu, ide-idenya yang ia tuliskan sebagai curahan hati masih bisa dibaca langsung oleh setiap orang. Setiap orang yang membacanya tentu masih bisa merasakan semangat dan gelora jiwanya yang mengharapkan kondisi ideal kepada setiap perempuan.

Faktanya sudah begitu jelas. Tetapi masih saja ada anggapan anti Kartini, Cut Nyak Dhien, Kemala Hayati, Dewi Sartika, Ratu Zaleha dan para pahlawan lain yang jelas dan nyata perjuangannya. hasilnya jelas,  Indonesia merdeka dari para penjajah. Sementara apa yang diperbuat Kartini secara nyata?

Mari kita diam sejenak kembali untuk melihat nilai dari arti sebuah perjuangan secara mendalam. Berkaca pada sosok Mary Wolstonecraft yang menyuarakan kegelisahan dan perasaan tertindas perempuan Inggris di masa revolusi Industri dalam bukunya A Vindication of the Rights of Woman yang diterbitkan tahun 1792.

Sebagaimana yang Kartini menulis dengan surat-suratnya. Melalui ide dan pemikirannya yang dituangkan dalam buku ini, Mary berusaha membangkitkan kesadaran masyarakat tentang adanya ketidakadilan yang diterima kaum perempuan. Inilah yang membuat Mary dikenang sebagai tokoh pejuang hak perempuan. Bukan Victoria sang Ratu Inggris atau Joan of Arc dari Orleans yang memimpin pasukan Perancis untuk melawan penjajahan Inggris.

Kartini berusaha melawan kepicikan masyarakat, yang sampai hari ini di banyak tempat di negara ini masih bersikap diskriminatif terhadap perempuan. Sesuai dengan yang ia tulis dalam suratnya kepada Prof Anton dan Nyonya tanggal 4 Oktober 1902,

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan. Bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tetapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama” (Surat Kartini kepada Prof.Anton & nyonya, 04 Oktober 1902)
Dalam siratan pemikirannya, sebuah gagasan bahwa ia ingin di negerinya memperhatikan perempuan, mempersiapkan perempuan sesuai tatanan agama dan menjadi perempuan terpelajar yang mempunyai bekal ilmu yang sarat untuk mempersiapkan generasi penerus.

 Perjuangan Kartini belum tuntas, perjuangan terhadap diskriminasi perempuan masih terus berlanjut, karena itulah semangan Kartini harus digelorakan dan diperingati. Bukan tanpa alasan dan pertimbangan yang tidak jelas.

Tulisan ini bukan berarti ingin mengesampingkan para pahlawan perempuan lain yang lebih hebat atau sama hebatnya dengan Kartini. Lagi pula ini bukan sebuah perbandingan kehebatan. Ini adalah upaya mengambil nilai-nilai perjuangan sebagai sumber inspirasi kehidupan.

Indonesia masih membutuhkan sosok-sosok Kartini yang dengan ide-idenya berusaha membela hak kaum perempuan dari sikap diskriminatif masyarakat yang didominasi oleh nilai-nilai patriarki.

Lawan perempuan dari penindasan!
Perjuangkan perempuan sesuai kodratnya!
Selamat Hari Kartini 2016!


Dari berbagai sumber

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkuman Buku DASAR-DASAR EVALUASI PENDIDIKAN edisi 2 Prof. Dr. Suharsimi Arikunto BAB I- IV

BAB I PENDAHULUAN 1.       Pengertian Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi Evaluasi, Pengukuran, dan Penilaian merupakan tiga istilah yang berbeda meski sering diartikan sama tergantung saat penggunaannya. a.        Mengukur (measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Ukuran sendiri mempunyai dua macam, yakni ukuran yang terstandar (seperti meter, kilogram, dsb. ) dan ukuran tidak terstandar (depa, jengkal, langkah, dsb.) b.        Menilai (evaluation) adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif. Penilaian dilakukan setelah mengukur. c.        Evaluasi meliputi dua langkah di atas, yakni mengukur dan menilai. 2.       Penilaian Pendidikan Evaluasi adalahh proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal ...

naskah drama kelas XI smk pasawahan oleh nurdhianti

w   Ringkasan Cerita : Permasalahan di dunia pendidikan seringkali terjadi tanpa kita sadari, atau mungkin kita menyadarinya namun kita ( pendidik maupun yang dididik) tidak mampu  mengendalikannya. Dimulai dari hal-hal kecil seperti peraturan yang tidak sesuai dengan siswa, hubungan antar murid dengan teman sebaya, murid dengan guru, maupun guru dengan murid. Sekolah adalah tempat untuk mengembangkan karakter murid, karena sekolah adalah  rumah kedua setelah rumah orang tua. Enam hari dalam seminggu, kita selalu berada di lingkungan sekolah. Berinteraksi dengan teman sekelas, dengan guru yang mengajar adalah makanan sehari-hari untuk menentukan bagaimana cara kita menghadapi orang lain, entah itu yang tua, ataupun sepantaran. Sekolah bisa diumpamakan dengan laboratorium hidup tempat melakukan berbagai eksperimen kehidupan. Banyak masalah-masalah yang cara menyikapinya adalah embrio dari karakter kita.  Drama ini mengisahkan tentang berbagai permasalahan umum yang t...

RESENSI BUKU “SEJARAH TIMUR TENGAH (ASIA BARAT DAYA)”

Oleh Siti Nurdianti Judul Buku                : Sejarah Timur Tengah  (Asia Barat Daya) Penulis                        : Yusliani Noor Penerbit                      : Ombak Kota Terbit                : Yogyakarta Tahun Terbit             : 2014 Tebal                          :xii+437 halaman Harga                         : Rp....