Langsung ke konten utama

DINAMIKA GERAKAN PETANI DI PEDESAAN (KEMUNCULAN, KELANGSUNGAN DAN REFORMA AGRARIA)

*Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Agraria dan Perkebunan PSP Sejarah FKIP ULM TA 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah adalah kuburan, begitu kata Vilfredo Pareto (Wiradi, 1984 dalam Fajrin, 2011), tetapi tanpa sejarah, “apakah mungkin kita berada di sini”? dalam sejarah panjang Indonesia, semenjak masa kolonial hingga saat ini, dapat dilihat bagaimana petani selalu mewarnai dinamika sejarah bangsa. Diterbitkannya undang-undang agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870 oleh pemerintah kolonial menjadi tonggak penting bagi sejarah petani di Indonesia. dengan adanya undang-undang tersebut, pemerintak kolonial dapat memberikan keleluasaan kepada pengusaha swasta asing untuk dapat menyewa tanah dalam waktu yang panjang dan dengan harga yang murah (Fajrin, 2011).
Semenjak saat itu, aliran modal swasta asing membanjiri Indonesia. perkebunan-perkebunan besar swasta mulaii bermunculan di pulau Jawa dan Sumatera. Hal ini memberikan dampak negatif bagi kehidupan para petani karena tidak sedikit tanah-tanah perkebunan tersebut awalnya merupakan tanah garapan milik petani. selain itu memunculkan ketimpangan struktur kepemilikan tanah, di mana satu orang yang mempunyai modal mampu menguasai tanah beruta-juta hektar untuk kepentingan pribadinya, sedangkan satu orang lainnya tidak mempunyai apa-apa. Pada gilirannya, kebijakan tersebut menjadi salah satu pemicu munculnya aksi-aksi perlawanan petani kepada pemerintah. Seperti yang dituliskan Kartodirdjo, bahwa radikalisasi petani pada masa kolonial terjadi karena pengambilan tanah oleh Pemerintah Kolonial untuk kepentingan aktivitas usaha perkebunan (Kartodirdo, 1984 dalam Fajrin, 2011)
B.     Rumusan masalah
a.       Apa itu gerakan petani?
b.      Bagaimana latar belakang dan proses munculnya gerakan petani di Pedesaan Indonesia?
c.       Bagaimana peranan mahasiswa dalam membidani gerakan reforma agraria?
C.     Tujuan Dan Manfaat
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui : i) pengertian gerakan petani dan latar belakang dan proses munculnya gerakan petani di Pedesaan Indonesia.



BAB III
PEMBAHASAN
A.    Gerakan Petani
Gerakan petani menurut Wahyudi (2005) merupakan salah satu jenis dari gerakan Sosial, artinya gerakan petani adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh petani. gerakan sosial –termasuk di dalamnya gerakan petani- merupakan gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara kolektif, kontinyu dan atau sistematis dengan tujuan untuk mendukung atau menentang keberlakuan tata kehidupan tertentu dimana mereka memiliki kepentingan di dalamnya, baik secara individu, kelompok, komunitas, atau level yang lebih luas lagi. Giddens mengartikan gerakan sosial sebagai suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama; atau gerakan mencapai tujuan bersama; atau gerakan mencapai tujua bersama melalui tindakan kolekif di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Sedangkan Soerjono Soekanto (2006) mendefinisikan gerakan sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara individu dengan kelompok dan hubungan antara individu kelompok-kelompok.
Rasa senasib sepenganggungan, kuatnya ikatan sosial pagyuban di kalangan petani menadi modal kuat untuk berkumpul menjadi satu kekuatan tindakan kolektif untuk melawan ketidakadilan terhadap kehidupan mereka. Studi-studi mengenai gerakan petani menunukkan bagaimana petani berjuang untuk hidup lebih baik, mencari jalan keluar dari kompleksitas permasalahan yang menjerat mereka. Kasus-kasus reklaiming tanah, penarahan, konflik petani dengan pengusaha swasta ataupun pemerintah dan kasus-kasus pertanahan lainnya di negeri ini berkaitan dengan hak ekonomi, hak sebagai petani warga negara Indonesia atas tanah sebagai sumber penghidupan. Gerakan petani tersebut diwarnai dengan perjuangan kelas sebagai ciri-ciri gerakan sosial lama. Perjuangan kelas melawan pemilik-pemilik tanah atau terhadap penguasa di mana ketika negara melakukan represi terhadap petani, melakukan perampasan-perampasa tanah dengan dalih kepentingan umum menggunakan birokrasi pemerintah dengan pengawalan ketat militer.
B.     Latar Belakang dan Proses Munculnya Gerakan Petani di Indonesia
Petani indonesia mayoritas termasuk dalam kategori peasant. Peasant diartikan oleh Eric R. Wolf (Anonim,tt) sebagai petani pedesaan, sebagai orang desa yang bercocok tanam di pedesaan tidak di dalam ruangan-ruangan tertutup (green house) di tengah-tengah kota atau kotak-kotak aspidistra di atas ambang jendela, mereka bukanlah farmer atau pengusaha pertanian seperti yang ada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Jepang. Kehidupan petani pada masa lalu bercorak subsisten  dengan prinsip “dahulukan selamat”. James C Scott mengemukakan bahwa perilaku ekonomis yang khas dari keluarga petani berorientasi subsistensi merupakan akibat dari kenyataan bahwa, berbeda dari perusahaan kapitalis, ia sekaligus merupakan satu unit konsumsi dan satu unit produksi. Unit prosuksi usaha tani rumah tangga digunakan untuk memnuhi kebutuhan sehari-hari tidak untuk mencari keuntungan bisnis. Akan tetapi pola-pola kehidupan petani tersebut mengalami pergeseran sebagai akibat dari perkembangan industrialisme dan modernisasi. Perkembangan pesat Ilmu Pengetahuan dan teknologi mengabaikan pengetahuan/kearifan lokal serta merusak pola kehidupan masyarakat petani dan seringkali menempatkan petani hanya sebagai korban. Pola hubungan harmonis pada masa lalu antara petani dengan alam dengan sesama manusia berubah menjadi hubungan eksplotatif, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Pola kehidupan petani mandiri dengan mencukupi terlebih dahulu baru kemudin kelebihan produksi dijual, berubah menadi sekedar unit konsumsi. Pergeseran pola kehidupan petani tersebut banyak ditemui di negara-negara berkembang tak terkecuali di Negara Indonesia.
Ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaann tanah yang ada pada masa kolonial, seperti yang telah dipaparkan dalam latar belakang menjadi salah satu pemicu dikeluarkannya kebijakan penataan agraria pada masa orde lama (1945-1965). Selama masa pemerintahan Soekarno, rakyat mulai merasakan adanya kebebasan (Fauzi 1999, dalam Fajrin, 2011). Hal ini ditandai dengan terbukanya ruang yang cukup lapang bagi petani untuk membentuk organisasi tingkat akar rumput sehingga partisipasi politik ormas petani terbuka luas. Dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai salah satu kebijakan pemerintah Soekarno, diakui secara legal sebagai landasan hukum pertanahan yang sah. Meskipun pada tahap pelaksanaannya pelaksanaan UU tersebut terhambat baik karena masalah administratif, korupsi, maupun oposisi dari tuan tanah.
Arah kebijakan agraria berubah pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, rezim ini mempunyai asumsi yang berbeda dalam melihat pembangunan (Fauzi, 1999 dalam Fajrin, 2011). Pada era Orde Baru (1965-1998) persoalan land reform dijadikan hanya sebatas pada masalah teknis birokrasi dan juga menghapus semua legitimasi ormas petani dalam program land reform. Dikeluarkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menghapus proses politik partisipati orang desa dan perlibatan  militer dalam pengawasan pembangunan desa. Pada prakteknnya hal ini memotong massa desa dengan partai politik, sehingga kegiatan politik pada tingkatan desa hanya saat pemilu semata. Nasib petani di pedesaan semakin terpuruk ketika ideologi developmentalism  menjadi pilihan paradigma pembangunan rezim Orde Baru yang pada kenyataannya sangat problematik bagi petani dengan ditopang investasi modal asing secara besar-besaran melalui industrialisasi, yang dalam opreasionalisasinya sangat memerlukan kesediaan tanah (Fauzi, 1999 dalam Fajrin, 2011).
Adanya pemberian hak pengelolaan kawasan oleh pemerintah kepada pihak swasta ataupun BUMN, yang marak pada  masa Orde Baru, merupakan bentuk konversi pada dari hak erfpacht yang ada pada masa kolonial. Sejalan dengan itu pengelolaan HGU tersebut dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan peruntukkan, penguasaan, dan pengasingan terhadap masyarakat sehingga memicu konflik.
Kejatuhan pemerintahan Orde Baru menciptakan ketidakstabilan di bidang politik dan ekonomi, baik itu pad tingkat pusat ataupun daerah sudah menjadi ciri rezim otoriter modern bahwa ketika pusat tidak dapat bertahan, maka segaanya akan berantakan dengan begitu cepat. Krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1977 mendesak lahirnya gagasan reformasi. Reformasi membuka ruang yang lebih besar bagi rakyat dalam menyuarakan aspirasinya, terutama dengan dukungan dari banyaknya organisasi non pemerintah yang memang pesat juga perkembangannya di seluruh dunia pada awal tahun 1990-an. Semangat reformasi tidak hanya dirasakan oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat yang melakukan aksi turun di jalan di kota-kota besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di tingkat akar rumput. Salah satu bentuknya, mengejawantahkan dalam aksi perebutan tanah (reclaiming) yang dilakukan oleh masyarakat atas tanah-tanah yang pernah menjadi tanah garapan penduduk, seperti pada kasus wonosobo, kasus Tapos, kasus desa Sambeng, Kecamatan Juwangi, Boyolali, dan Kasus PT Cipicung di Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis.
C.     Mahasiswa dan Pengampingan Reforma Agraria
Indonesia sebagai negara mempunyai kekuasaan dan wewenang tertinggi terkait dengan pengalokasian sumber-sumber agraria. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan kepada negara untuk memberikan kemakmuran dan menyejahterakan rakyat melalui pengelolaan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di Indonesia. Diperkuat oleh  Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang menyatakan: “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menuruti cara-cara yang diatur oleh undang-undang”. Artinya, Pemerintah mempunyai hak untuk mengatur semua permasalahan tanah baik tanah milik negara maupun milik rakyatnya.[1]  Amanat-amanat tersebut merupakan kekuasaan tertinggi sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk dapat mengalokasikan agraria/pertanahan demi tercapainya kemakmuran  bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun kenyatannya, kekuasaan dan wewenang untuk mengatur alokasi sumber-sumber agraria tersebut belum dapat terlaksana sebagaimana yang dicita-citakan. Adanya kekuasaan tertinggi untuk mengatur tersebut justru membuat negara lalai dan terjadi banyak sekali kesenjangan penguasaan tanah, dimana satu orang yang dapat menguasai berhektar-hektar lahan, sedang ribuan orang lainnya tidak mempunyai tanah untuk berproduksi. konsekuensinya, kasus-kasus seperti perebutan sumber daya antara kedua belah pihak dengan kepentingannya masing-masing timbul. Seperti contoh yang telah penulis paparkan di atas.
Sengketa-sengketa agraria yang terjadi mencerminkan belum terlindunginya hak rakyat atas tanah. Celakanya, dalam hal bersengketa rakyat (petani kecil) merupakan pihak yang selalu dikalahkan.[2] Aktivitas pemanfaatan sumber-sumber agraria oleh  petani kecil digunakan untuk memenuhi seperlunya kebutuhan sehari-hari serta mementingkan pola hubungan yang harmonis dengan alam, tidak untuk mencari keuntungan bisnis seperti yang dilakukan kapitalis. Kaum kapitalis dengan segala kekuatan dan kedekatannya dengan oknum pemerintah mempunyai akses untuk menguasai lahan secara massif untuk kepentingannya.
Berangkat dari kondisi ini, petani kecil dan masyarakat bawah menunjukkan ketidakseimbangan dan melakukan perjuangan-perjuangan untuk mencapai kesejahteraan mereka. Masyarakat kecil mulai menggabungkan diri membentuk serikat dan melakukan berbagai aksi protes sosial untuk membuka mata dunia bahwa sebagai bagian dari rakyat Indonesia, mereka tidak boleh dimarjinalkan dalam menguasai sumber daya agraria.
Menurut Dianto Bachriadi, konflik agraria yang merebak selama ini adalah tanda lain dari perlu dilaksanakannya reforma agraria, karena konflik agraria itu sendiri merefleksikan pudarnya keadilan agraria di dalam suatu masyarakat.
Reforma Agraria dapat diartikan sebagai suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat baru yang demokratis dan berkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya[3]. Lebih lanjut, Dianto menyimpulkan inti dari reforma agraria adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah yang disertai dengan program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran dan sebagainya.
Lin (1974, dalam Dianto Bachriadi, 2007) menunjukkan setidaknya ada 10 (sepuluh) aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara negara bila reforma agraria mau berhasil, yakni: (1) Mandat Konstitusional, (2) Hukum Agraria dan Penegakkannya, (3) Organisasi Pelaksana, (4) Sistem Admininstrasi Agraria, (5) Pengadilan, (6) Desain Rencana dan Evaluasi, (7) Pendidikan dan Latihan, (8) Pembiayaan, (9) Pemerintah Lokal, dan (10) Partisipasi Organisasi Petani[4].
Dalam pelaksanaan Reforma Agraria, perlu adanya persiapan yang matang dengan memenuhi berbagai prasyarat. Di sini peran pemerintah sangat penting dalam pelaksanaan reforma agraria sebagai penyedia prasyarat-prasyaratnya seperti kemauan politik dari pemerintah, data keagrariaan, adanya organisasi tani, pemisahan antara elit politik dan elit bisnis, serta dukungan dari angkatan bersenjata[5]. Selain itu juga diperlukan dukungan dan partisipasi dari berbagai pihak.
Mahasiswa, sebagai agent of change sudah sepatutnya mengambil bagian dari upaya terlaksananya Reforma Agraria. Mahasiswa dengan kemewahan idealismenya mempunyai akses untuk mengawasi dan turut serta dalam kehidupan bernegara. Sebagai bagian dari masyarakat, mahasiswa juga mempunyai tanggung jawab untuk mendampingi dan mengembalikan fungsi sesuai kedudukannya.
Contoh nyata adalah pergerakan Forum Aspirasi Rakyat Mahasiswa Ciamis (FARMACI). Perkumpulan mahasiswa dari Universitas Galuh di Kabupaten Ciamis membuat sebuah organisasi Serikat Petani Pasundan (SPP) yang membantu para petani di beberapa desa pedalaman di Ciamis. Mereka bersama Lembaga Bantuan Hukum Ciamis mengawasi dan mendampingi para petani yang tergabung dalam SPP untuk menuntut hak-hak pengelolaan atas tanah di wilayah mereka yang dikuasai oleh pihak pemodal. Selain itu, mereka juga melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang mereka dampingi.




BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Gerakan petani adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh petani. Gerakan sosial –termasuk di dalamnya gerakan petani- merupakan gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara kolektif, kontinyu dan atau sistematis dengan tujuan untuk mendukung atau menentang keberlakuan tata kehidupan tertentu dimana mereka memiliki kepentingan di dalamnya, baik secara individu, kelompok, komunitas, atau level yang lebih luas lagi.
Gerakan petani muncul di Indonesia karena adanya ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah. Dimulai dari masa kolonial ketika diberlakukannya Agrarische Wet tahun 1870, di mana satu orang pemmodal bisa menguasai ribuan hektar tanah sedangkan ribuan petani lainnya tidak mempunyai akses untuk menggarap tanah yang dahulunya garapan mereka. Pada masa Soekarno disah kan UUPA 1960 untuk memperbaiki kondisi tersebut. Namun pada era Soeharto, kebijakan yang dikeluarkan kurang lebih seperti konversi dari masa kolonial yang membuat petani semakin dirugikan. Pada masa Reformasi, muncul organisasi-organisasi gerakan tani. Para petani dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan ketidakadilan mereka melakukan gerakan petani demi terwujudnya reforma agraria yang diharapkan mampu mengubah kehidupan petani menjadi lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA

Afrizal, Negara dan Konflik Agraria: Studi Kasus pada Komunitas Pusat Perkebunan Kelapa Sawit Berskala Besar di Sumatera Barat. Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Andalas, Padang.Anonim, tt.
Dianto Bachriadi. 2007. Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala SBY. Tulisan tersebut adalah bahan diskusi dalam Pertemuan Organisasi-organisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni 2007. Tulisan yang sama pernah disampaikan dalam diskusi di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, 2 Juni 2007, dan beberapa pertemuan/diskusi lainnya di Indonesia.
Noer Fauzi Rahman. 1999. Perenial Claim Yang Menggugat Tanggung Jawab Negara. Jurnal Wacana Ed. 4 tahun 1999: Petani dalam Jeratan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.
 Mochammad Fajrin. 2011. Skripsi: Dinamika Gerakan Petani: Kemunculan dan Kelangsungannya (desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis).  Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Ririn Darini. Tt. Sengketa Agraria: Kebijakan dan Perlawanan dari Masa ke Masa. Mozaik : Sengketa Agraria
Soerjono Soekanto, 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Grafindo Press.




[1] Afrizal, Negara dan Konflik Agraria: Studi Kasus pada Komunitas Pusat Perkebunan Kelapa Sawit Berskala Besar di Sumatera Barat. Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Andalas, Padang.
[2] Lihat Ririn Darini, Sengketa Agraria : Kebijakan dan Perlawanan Dari Masa Ke Masa. Mozaik. Hal. 11
[3] Lihat Dianto Bachriadi, Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala SBY. Tulisan tersebut adalah bahan diskusi dalam Pertemuan Organisasi-organisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni 2007. Tulisan yang sama pernah disampaikan dalam diskusi di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, 2 Juni 2007, dan beberapa pertemuan/diskusi lainnya di Indonesia.
[4] Lin (ed.) (1994), Readings in Land Reform. Dalam Dianto Bachriadi, Ibid hal. 6
[5] Ibid hal 6-7

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkuman Buku DASAR-DASAR EVALUASI PENDIDIKAN edisi 2 Prof. Dr. Suharsimi Arikunto BAB I- IV

BAB I PENDAHULUAN 1.       Pengertian Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi Evaluasi, Pengukuran, dan Penilaian merupakan tiga istilah yang berbeda meski sering diartikan sama tergantung saat penggunaannya. a.        Mengukur (measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Ukuran sendiri mempunyai dua macam, yakni ukuran yang terstandar (seperti meter, kilogram, dsb. ) dan ukuran tidak terstandar (depa, jengkal, langkah, dsb.) b.        Menilai (evaluation) adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif. Penilaian dilakukan setelah mengukur. c.        Evaluasi meliputi dua langkah di atas, yakni mengukur dan menilai. 2.       Penilaian Pendidikan Evaluasi adalahh proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal ...

naskah drama kelas XI smk pasawahan oleh nurdhianti

w   Ringkasan Cerita : Permasalahan di dunia pendidikan seringkali terjadi tanpa kita sadari, atau mungkin kita menyadarinya namun kita ( pendidik maupun yang dididik) tidak mampu  mengendalikannya. Dimulai dari hal-hal kecil seperti peraturan yang tidak sesuai dengan siswa, hubungan antar murid dengan teman sebaya, murid dengan guru, maupun guru dengan murid. Sekolah adalah tempat untuk mengembangkan karakter murid, karena sekolah adalah  rumah kedua setelah rumah orang tua. Enam hari dalam seminggu, kita selalu berada di lingkungan sekolah. Berinteraksi dengan teman sekelas, dengan guru yang mengajar adalah makanan sehari-hari untuk menentukan bagaimana cara kita menghadapi orang lain, entah itu yang tua, ataupun sepantaran. Sekolah bisa diumpamakan dengan laboratorium hidup tempat melakukan berbagai eksperimen kehidupan. Banyak masalah-masalah yang cara menyikapinya adalah embrio dari karakter kita.  Drama ini mengisahkan tentang berbagai permasalahan umum yang t...

RESENSI BUKU “SEJARAH TIMUR TENGAH (ASIA BARAT DAYA)”

Oleh Siti Nurdianti Judul Buku                : Sejarah Timur Tengah  (Asia Barat Daya) Penulis                        : Yusliani Noor Penerbit                      : Ombak Kota Terbit                : Yogyakarta Tahun Terbit             : 2014 Tebal                          :xii+437 halaman Harga                         : Rp....