Beberapa malam lalu, saya dijemput oleh Donny, wartawan
jebolan Pimpinan Umum Intro tahun 2016. Malam itu di bawah rintikan gerimis dia
membawa saya ke Warung Kopi Rafi depan STMIK. Di sana, kami bertemu Mahfud,
alumni dari LPM Sukma yang sekarang kerja di Humas Pemprov. Akhir-akhir ini
Mahfud sedang naik daun, saingan sama ulat untuk mengambil
puc... eh, maksud saya dia sedang meniti popularitas di blog pribadinya.
Salah
satu kebiasaan saya selama gabung di pers mahasiswa (persma) adalah ngopi di
warung pinggir jalan bareng kawan-kawan persma dari berbagai kampus di
Banjarmasin. kebiasaan itu saya tekuni selama hampir 4 tahun pasca gabung di
LPM Kinday, lantaran petuah dari senior cantik saya, sebut saja Kak Puspa. Katanya,
jadi anak persma harus rajin diskusi untuk melatih daya kritis. Bukan dengan
cara bikin acara gede di dalam gedung dan mengundang narasumber papan atas,
tapi dengan nongkrong di warung kopi, berkumpul dengan teman-teman, bahas isu
dan saling utarakan pendapat. Sebagai adek yang baik saya mencoba patuh dengan
nasihat-nasihat yang bertujuan mencerahkan. Siapa tahu bisa dijadikan bekal kehidupan berbangsa dan beragama.
Di
Warung Rafi itu kami biasa ngobrol ngalor ngidul. Topik
gosip kami gonta-ganti sesuai mood dan sesiapa yang hadir. Mulai dari potensi jodoh, kritik kampus, sampai surat picisan
Karl Marx kepada Jennie. Tak ada topic yang pasti. Namanya
juga manusia.
Kembali
ke malam itu. Kami menggosipkan gerakan persma kekinian. Bukan organisasinya, tapi orang-orang yang
menjalankannya alias adek-adek yang sekarang menjabat menjadi pengurus.
Sebentar.
Saya
perlu kesehatan mental yang stabil untuk masuk ke topik
bahasan ini.
Oke, saya lanjut.
Yah,
awalnya kami tidak berencana menggosip tentang kondisi
persma. Malam itu Mahfud sedang menyerapahi salah satu opini di surat kabar
yang ditulis oleh mbak-mbak mahasiswa S2 tentang survei pilpres. Opini mahasiswa
itu, setelah dia meminta saya membaca, dan saya tinjau dari berbagai sisi, memang
banyak yang
rancu. Kau baca sendirilah kapan-kapan.
Dia bilang, untuk ukuran S2 tulisannya sangat tidak layak
dan membuat geregetan. Untuk menyampaikan kegeregetannya dia ingin membuat
opini tanggapan. Benar saja, opini tanggapannya diterbitkan
beberapa hari kemudian di surat kabar yang sama.
Dari
produk opini mbak-mbak mahasiswa S2 itu, obrolan kami bertiga
kemudian menyerempet ke kelakuan adek-adek pengurus persma sekarang. Masalahnya
adalah, dia bilang, adek-adek sekarang malas menulis opini dan terlalu
mengunggulkan produk berita. Opini itu tulisan yang sangat penting untuk
menunjukkan pandangan dan sikap kita atas suatu masalah.
Berita memang tulisan
utama jurnalistik. Begitu yang saya pahami. Namun, ketika persma menulis berita
tanpa memahami tugas dan fungsinya, ia hanya akan sekedar menghasilkan
berita-berita seremonial. Tak punya sikap dan arah.
Sampah.
#sigh
Sebagai pribadi yang
bertumbuh di persma, membuat kami menyayangi tempat kami bertumbuh itu, termasuk
dedek-dedek yang sekarang masih berproses di sana. Melihat persma semakin
menurun kualitasnya membuat kami yang (pernah merasa) berjuang menjadi geregetan.
Berada di posisi
sekarang, dengan memiliki pandangan seperti sekarang, membuat saya mengerti
bagaimana perasaan para alumni terdahulu. Tapi apa yang bisa dilakukan selain
berdoa dan ceramah berbuih tanpa ada jaminan untuk dilaksanakan?
Maha benar Toybe dengan
teorinya. Setelah kami berusaha setengah sinting menyadarkan dedek-dedek untuk
tetap dijalan yang lurus (menurut kami), apa daya jika Toynbee akhirnya benar. Sebuah
komunitas akan mengalami gerak siklis sejarah. Tumbuh, berkembang, berada di
puncak, lalu perlahan runtuh, lalu muncul yang baru lagi.
Semoga.
Komentar
Posting Komentar