Dari judulnya sudah kelihatan. Tulisan ini akan
memaparkan beberapa manfaat ngopi dengan tujuan memprovokasi teman-teman agar suka ngopi. Bila teman-teman tidak suka diprovokasi atau tidak suka ngopi,
tolong tetap luangkan waktunya sebentar untuk membaca ini, siapa tahu berubah
pikiran. Hehe.
Ngopi yang saya maksud di sini bukan ritual minum
kopi, tapi budaya ngopi. Apa itu budaya ngopi? Mari kita
urai pelan-pelan. Budaya ngopi terdiri dari dua term, yaitu "Budaya" dan "Ngopi"
Budaya dalam konteks ilmu sosiologi bisa ada karena suatu
masyarakat yang hidup bersama dalam waktu yang lama. Hidup bersama dalam waktu
yang lama akan memungkinkan orang-orang saling mengenal. Tak hanya itu, tapi
juga saling ngobrol, bertukar pengetahuan, bertukar keterampilan, atau bertukar
kebencian.
sedangkan ngopi adalah Lalu dari penjelasanmu, dimana letak kebudayaan ngopi nya? Budaya
yang bagaimana ngopi yang dimiliki persma itu?
Aduh, malah jadi blunder gini. Mau sok berteori
padahal nggak ngerti. Pusing sendiri.
Intinya, budaya ngopi yang saya maksud adalah
berkumpul dengan teman-teman persma, lalu berdiskusi ngalor ngidul.
Saya sampai sekarang percaya, budaya ngopi memiliki
manfaat luar biasa bagi teman-teman aktivis persma sekalian. Tentu, manfaat ini
belum terbukti kesahihannya. Ini hanya testimoni singkat yang dikarang-karang
tengah malam karena nggak bisa tidur.
Menjalin relasi
Yap. Dengan ngopi, kawan-kawan persma bisa berkenalan
dengan satu LPM ke LPM lain. jelas. Kawan-kawan akan mempunyai kawan dari yang
akan mudah dimanfaatkan. Para penggiat persma pasti tahu bagaimana kerasnya
berorganisasi di LPM, dengan memiliki banyak relasi teman-teman akan memiliki
peluang yang sedikit lebih lebar untuk menyelesaikan berbagai masalah. Contoh
ketika teman-teman mencari sponshorship sebuah acara atau nerbitkan majalah
kesayangan, teman-teman bisa mencari rekomendasi dari relasi. Contoh lain,
perlu narasumber untuk suatu liputan sedang teman2 tidak punya kontaknya.
Tentu, teman2 bisa minta kontak. Pasti akan dikasih.
Publik speaking
Dalam berkumpul dengan kawan-kawan persma, nak-nak dituntut
untuk pandai berbicara. Apa pasal? Kerasnya kehidupan persma membuat
kawan-kawan persma harus berposisi menjadi pendengar ketika wawancara. Bukan
karena tidak punya opini untuk disampaikan, tapi tuntutan profesi sebagai wartawan
haruslah memberikan ruang bagi narasumber. Terkadang lelah.
Nah, anak-anak persma seringkali menumpahkan opini dan
pemikirannya ketika ngopi. Yha! Pas ngopi. Meluapkan ide-ide dan kekesalannya
sama birokrat. Bicara meracau dari teori
pertentangan kelaslah, kapitalisasi pendidikanlah, autokritik persma lah, atau
kadang upaya-upaya untuk menguatkan organisasi tempat bernaung persma itu
sendiri-PePeeMaI-
Gitulah, masalahnya kalau sudah meracau, masalah yang
sebenarnya cukup diuraikan dalam dua kalimat bisa menjadi 10 paragraf dengan
separagraf bisa terdiri dari 50 kalimat. Belum lagi dorongan dari kafein yang
subhanallah, keluarlah para bahasa langit dari kahyangan.
Sebagai peladen yang baik, terkadang kita harus
mengimbangi pembicaraan mereka. Dengan begitu public speaking yang diidam-idamkan saat interview seleksi masuk persma akan terasah via ceracau-ceracau
di warung kopi.
Bahan tulisan
Dengan banyaknya obrolan teman-teman bisa mendapatkan
ide baru untuk membuat tulisan. Serta informasi dari teman-teman.
Wawasan
Jelas, ketika ngobrol ke sana kemari dengan teman-teman
persma kita akan menambah wawasan baru. Secara, anak persma itu kelihatan pinter
karena banyak bahan yang harus dibaca. Jadi dengan sekedar mendengarkan pun
akan dapat ilmu tambahan.
Dapat jodoh bagi yang
beruntung
ehm... Hanya saja bagi yang
beruntung. Seperti hadiah di ciki-ciki limaratusan. Hehe.
Komentar
Posting Komentar