![]() |
sumber: goodreads |
“kalau mati dengan
berani; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada-itulah sebabnya
setiap asing bisa jajah kita.”
Begitu kutipan terkenal dari novel Larasati
ini. Mengajarkan kita bahwa kita harus menghadapi segala hal di depan mata kita
dengan berani. Sebaik-baiknya berani.
Dalam hal apapun itu.
Novel ini merekam golak revolusi Indonesia
pascaprokalamasi melalui sudut pandang seorang perempuan yang berprofesi
sebagai bintang film. Larasati namanya. Dari mata perempuan ini masa revolusi
fisik digambarkannya dengan heroik, penuh haru, kadangkala penuh kemunafikan
yang membuatku sesekali menghela napas. Larasati memandang revolusi tidak hanya
sekedar perjuangan yang dilakukan oleh pemuda yang berapi-api, tetapi juga utuh
dengan segenap gejolak perasaan yang menyertainya.
Pram memulai kisah ini dari perjalanan Larasati
dari pedalaman Yogya menuju daerah pendudukan NICA di Jakarta. Dari sana ia
bertekad ingin membuktikan eksistensi diri dan kemampuannya mengadu nasib
kebintangannya di Jakarta! Dari pada itu, ia mencari keberadaan ibu yang sangat
ia cintai. Apa dikata, di sepanjang perjalanan ia justru menemukan jatidirinya.
Ia, seorang republik sejati. Jati diri larasati tumbuh dari percakapan dan
pertemuan dengan orang-orang baru, hingga pengalaman berjuang bersama para
pemuda.
Puncaknya ketika ia bercakap dengan Mardjohan,
kenalannya di dunia perfilman yang oportunis, berpihak pada apa yang
menguntungkannya. Ara, panggilan Larasati, menolak. Menurutnya lebih baik mati
daripada harus bekerjasama dengan Belanda yang hina. Mardjohan masih terus
berusaha mengajaknya bekerjasama, namun larasati teguh pendirian. Dan dari
percakapan itu ia yang tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, mendapat pencerahan
bahwa selama ini ia digurui oleh Revolusi. Dan selamanya akan berpihak pada
tanah airnya.
Hari demi hari Larasati mulai merasakan
penderitaan yang dilakukan oleh para pemuda yang berjuang untuk revolusi.
Aku mengamini itu, bahwa revolusi adalah harapan
atas penderitaan, dendam akan rindu kedaulatan, dan perjuangan tampil . Berani
tidak hanya melawan semua bentuk kelaliman, tetapi juga berani melawan
keangkuhan dirinya sendiri.
Setelah membaca novel ini ada satu kalimat yang
kugaris bawahi: bahwa kita harus berani. Sebaik-baiknya berani. Apapun yang
telah kita putuskan untuk dilakukan. Memikul tanggung jawab yang telah
diberikan dengan sebaik-baiknya. Sebaik-baiknya bersikap.
Komentar
Posting Komentar