Penulis: Dr. Syaharuddin, M.A
Kota Terbit: Yogyakarta
Penerbit: Eja Publisher
![]() |
cover bukunya |
Buku ini ditulis oleh Dr. Syaharuddin, dosen program studi
pendidikan sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Mulanya, buku ini adalah
tesis saat beliau menjalani program master di Universitas Gadjah Mada.
Saya mendapatkan buku ini secara langsung dari penulisnya
yang tak lain adalah dosen saya sendiri
heheJ.
Singkat ceritanya sih, buku ini dijadikan salah satu referensi mata kuliah
Sejarah Pendidikan Indonesia saat semester 6. Sebab dalam buku ini memuat
aktivitas organisasi islam pada abad ke-20 di Kalimantan Selatan yang saat itu
masih bernama Borneo Selatan. Secara tidak langsung, buku ini masih berkaitan
dengan mata kuliah tersebut, karena di dalamnya juga memberi gambaran kondisi
pendidikan di era kolonial.
Saya akan memberikan sedikit ringkasan dari buku ini.
Ringkasan Buku
Secara umum, buku ini mengkaji nasionalisme lokal masyarakat
Banjar pada periode kolonial. Lebih rinci, buku ini berisi gambaran dinamika
organisasi Islam yang pernah tumbuh di wilayah Borneo Selatan di abad ke-20.
Beberapa organisasi yang disebutkan Dr. Syaharuddin di antaranya Sarekat Islam
(SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Musyawaratutthalibin. Mereka tumbuh dan memiliki peran penting
dalam upaya membangun kesadaran awal identitas keindonesiaan masyarakat Banjar melalui
berbagai aktivitas, politik, ekonomi, sosial agama, dan terutama pendidikan
Islam.[i]
Buku ini terdiri dari 6 bab yang telah disusun dengan
sistematis.
Pendahuluan
Bab pertama ini dimulai dengan pemaparan munculnya kesadaran
untuk berorganisasi dan mendefinisikan identitas bangsa pada masyarakat Hindia
Belanda secara umum, termasuk Borneo Selatan. Kesadaran ini dimulai ketika
pribumi merasakan berbagai keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan
penindasan akibat kolonialisme dan tradisionalisme. Tidak heran, posisi pribumi
atau masyarakat asli nusantara dalam
struktur sosial Hindia Belanda berada dalam urutan paling rendah sehingga
sering mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Mulai menyadari bahwa pribumi juga memiliki hak yang sama,
para elite meresponnya dengan membentuk berbagai macam ogranisasi sosial,
ekonomi, politik, budaya dan agama. Dalam perkembangannya,
organisasi-organisasi yang berdiri kemudian menjadi media yang penting dalam
merumuskan identitas ke-Indonesiaan.
Di dalam masyarakat Banjar, kesadaran awal kebangsaan muncul
dan berkembang bersamaan dengan kelompok elite agama dan elite sekuler. Elite
agama adalah para ulama, haji, santri dan orang-orang terpelajar yang
kebanyakan berlatar belakang pendidikan Islam. Sedangkan elite sekuler adalah
kelompok masyarakat yang telah memperoleh pendidikan barat.
Meski kedua elite tersebut sama-sama mengembangkan
organisasi dan bersama-sama membangun kesadaran akan identitas kebangsaan,
tampaknya organisasi agama lebih mendominasi dan lebih menarik perhatian
masyarakat Banjar. Kultur religius yang melekat di dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Banjar membuat elite agama ini sangat terpandang dan mudah diterima
pengaruhnya.
Borneo Selatan
1900-an
Dalam bab ini, Dr. Syaharuddin menjelaskan fungsi sungai dan
peranan pedagang dalam menyebarkan pengaruh organisasi keagamaan di Borneo
Selatan. Secara geografis, Borneo Selatan sangat dekat dengan Pulau Jawa.
Selain itu, pada tahun 1900-an keadaan sungai-sungai di Borneo Selatan masih
sangat baik dan berperan penting dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Banjar.
sungai terbesar yang ada di Borneo Selatan adalah Sungai Barito. Ada lebih dari
45 sungai yang bermuara di sungai ini dan kampung-kampung tumbuh bermukim di
sepanjang kiri dan kanan Sungai Barito.
Sebagai sungai terbesar, Sungai Barito memiliki beberapa
cabang sungai yang sangat penting dan alirannya dapat menghubungkan Kota-kota
di pedalaman hingga pesisir Borneo Selatan. Adanya aliran-aliran sungai ini
sangat berdampak terhadap mobilisasi para pedagang dalam berkomunikasi dengan
dunia luar. Begitu pula kedekatannya dengan pulau Jawa. Kedekatan ini
menyebabkan banyaknya para pedagang Banjar ke pulau Jawa untuk menjual
hasil-hasil panennya, perkebunan, atau mencari barang-barang jadi untuk
dipasarkan kembali ke daerahnya. Selama proses itu, maka sedikit banyaknya
telah berpengaruh pula terhadap perkembangan politik, ekonomi, budaya dan
keagamaan. [ii]
Dr. Syaharuddin juga memaparkan, di antara aspek paling
menonjol pada masa kolonial adalah struktur sosial masyarakatnya yang
diskriminatif. Status sosial dibedakan berdasarkan warna kulit; pertama adalah
masyarakat eropa, kedua adalah Timur Asing dan ketiga adalah pribumi.
Akibatnya hubungan sosial yang terjadi
bersifat superioritas dan inferioritas. Maka, dalam hal ini pribumi lah yang
termasuk ke dalam golongan inferioritas. Menjadi kelompok yang terdiskriminasi,
tentu membuat pribumi menjadi kalah bersaing dari berbagai aspek kehidupan;
ekonomi, politik dan pendidikan.
Membangun Identitas
Bersama: Dinamika Organisasi Islam di Borneo Selatan
Bab ini secara terperinci menguraikan aktivitas organisasi
Islam di Borneo Selatan pada dekade kedua abad ke-20.[iii]
Sebelum membahas tentang organisasi, Dr. Syaharuddin terlebih dahulu
membicarakan eksistensi Belanda di Bumi Lambung Mangkurat ini yang terlalu
mengintervensi Kerajaan Banjar hingga mengubah tatanan sosial politik dan
ekonomi masyarakat. Peristiwa penting adalah ketika Kerajaan Banjar dihapus, dan
masyarakat menjadi sakit hati karenanya. Dari segi ekonomi, Belanda juga
melakukan penetrasi yang menyebabkan kemiskinan rakyat Banjar.
Kondisi tersebut membuat masyarakat Banjar dan Dayak
bergabung menjadi satu dan sama-sama melakukan berbagai pemberontakan melawan
Belanda. Keinginan melepaskan diri dari Belanda juga nampak terlihat dari sikap
masyarakat Banjar yang toleran terhadap berbagai kehadiran organisasi Islam
yang datang dari Jawa. Upaya-upaya yang dilakukan, termasuk mendirikan
organisasi Islam secara garis besar ingin menaikkan martabat masyarakat Banjar
dan menjadi anti-tesis Pemerintah Kolonial di Tanah Banjar.
Dalam sejarah modern Indonesia, di awal abad ke-20
(1920-1930an) disebut sebagai “the decade
of ideologies”. Saat dominasi pemerintah Belanda masih sangat kuat, para
elite berkeyakinan bahwa hanya melalui organisasi lah, identitas keindonesiaan
bisa dibangun. Oleh sebab itu, organisasi modern bermunculan baik yang
berorientasi politik, sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan. Organisasi
tersebut antara lain Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905 yang tahun 1911
berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah (1912) sebagai organisasi
pembaharu, serta NU yang berorientasi sosial keagamaan.
Pasang surut perjuangan organisasi-organisasi politik dan
sosial di daerah ini sangat dipengaruhi oleh pasang surutnya perjuangan
organisasi-organisasi yang induknya berpusat di Jawa, yang telah tumbuh dan
berkembang terlebih dahulu.
Di Borneo Selatan, selain tumbuh dan berkembangnya berbagai
organisasi tersebut juga muncul organisasi yang berorientasi pada agama, yaitu Musyawaratutthalibin (1931), Fatal Islam
(1935), Asysyirothol Mustaqim, dan Hidayatul Mustaqiem. Di antara organisasi lokal tersebut, Musyawaratutthalibin lah yang tumbuh
menjadi organisasi lokal terbesar.
Keberadaan organisasi-organisasi Islam ini membawa manfaat
dan pengaruh yang nyata bagi kehidupan masyarakat. Kiprah mereka hampir
diterima di kota-kota besar di seluruh wilayah Borneo Selatan.
Seperti aktivitas SI di bidang sosial yang sering mengadakan
“Pasar Malam Amal”, hasil kegiatan tersebut digunakan untuk perbaikan
sekolah-sekolah, langgar-langgar, dan mesjid-mesjid disamping itu juga membantu
para fakir miskin, balai pengobatan, dan sebagainya. SI juga diceritakan
melakukan usaha di bidang ekonomis melalui
cara-cara politis untuk mengembalikan hak-hak ekonomi rakyat, misalnya dengan
mengajukan mosi tentang penghapusan pajak yang memberatkan rakyat.
Berbeda dengan Muhammadiyah, yang berorientasi lebih
cenderung ke arah sosial. Ia mendirikan masjid, balai-balai kesehatan dan
sekolah-sekolah Muhammadiyah. Di mana ranting Muhammadiyah berdiri, maka di
situ pula sekolah Muhammadiyah dibuka. Eksistensi Muhammadiyah dapat bertahan
hingga saat ini, karena orientasi organisasi ini sejak masa kolonial hingga
sekarang sangat konsisten dengan nilai-nilai sosial dan pendidikan.
Sedangkan NU didirikan oleh para ulama tradisional. Terlahir
karena alasan politis untuk memelihara tradisi keberagamaan paham Ahlussunnah Wal Jamaah terhadap
kehadiran dan sikap kaum mudah atau kaum pembaharu. Untuk menunjukkan eksistensinya, NU melakukan
berbagai aktivitas politik dengan mendukung pendirian Partai Islam Indonesia.
Seiring waktu, keberadaan Muhammadiyah dan NU di Tanah
Banjar memunculkan konflik atau pertentangan antara elite kedua organisasi
tersebut yang sering dikenal dengan istilah pertentangan antara kaum muda dan
kaum tua. Perbedaan pendapat yang terjadi, membuat masyarakat berada dalam
situasi kebingungan dan sampai pada
titik jenuh. Situasi ini melahirkan pemikiran dari tokoh-tokoh independen yang
terdiri atas ulama, guru-guru agama, dan kaum terpelajar untuk mendirikan organisasi
baru yang dinamakan Musyawaratutthalibin.
Tujuan utamanya ialah berusaha mencapai persatuan di antara umat islam,
khususnya para guru dan ulama.
Musyawaratutthalibin berusaha melakukan penyegaran,
pencerahan, dan pembaharuan terutama dalam bidang dakwah dan pendidikan. ia
mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan pendidikan agama Islam dan
pengetahuan umum. menurut mereka, hal ini penting sebab kedua jenis ilmu ini
merupakan landasan utama untuk menuju kehidupan yang lebih baik sesuai dengan kondisi zamannya.
Aktivitas lain ialah turut terlibat menjadi penguru partai
politik kebangsaan Perindra, menyantuni anak yatim piatu, dan berhasil
mendirikan sebuah percetakan dengan penerbitan majalah dan beberapa buku.
Aktivitas menonjol lain adalah dengan pengajuan beberapa permintaan resmi tentang
berbagai hal terhadap pemerintah, seperti mosi agar pemerintah menghentikan
penerbitan buku-buku yang isinya menghina umat Islam. (sejak dahulu udah ada ya
penistaan agama, hehehe).
Menggagas Pendidikan
Islam: Resistensi, Kesadaran Identitas dan Modernitas
Aktivitas utama elite Islam pada awal ake-20 di Borneo
Selatan ialah Pendidikan Islam atau pendirian sekolah-sekolah Islam. Pendidikan
Islam yang dibangun bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat Banjar serta
sebagai respon atas kebijakan pemerintah yang cenderung diskriminatif dan
mempertajam kesenjangan di antara tiga kelompok dalam struktur masyarakat
kolonial, yakni antara kelompok Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Diskriminasi tersebut
sangat nampak dari pendirian Hollands Chinnese School pada tahun 1909,
sedangkan sekolah Holland Indies School baru didirikan pada tahun 1904.
Hampir semua pendidikan islam yang digagas oleh organisasi
Islam dimaksudkan sebagai upaya
meresistensi dan berkompetisi atas agar
harkat martabat Urang Banjar dapat sejajar dengan golongan lainnya. Apalagi,
pendirian sekolah oleh pemerintah sangat berpotensi untuk mengurangi dan
mengalahkan pengaruh Islam di Nusantara melalui pendidikan Barat atas
orang-orang pribumi.
Meski demikian, masyarakat Banjar yang mayoritas muslim
tidak menampakkan penolakannya terhadap pendidikan asing. Hal ini cukup menegaskan
bahwa Islam yang dianut masyarakat Banjar merupakan ideologi yang menerima
sebuah konsep pluralitas, kemajemukan dan modernitas, khususnya yang berkaitan
dengan pendidikan.
Pendidikan Islam yang dibangun oleh elite Islam, juga terjadi transformasi orientasi
pengajaran, dengan mengadopsi kurikulum sekolah pemerintah dengan tetap
mengutamakan nilai-nilai agama Islam. Contohnya sekolah kaum pergerakan
Persatuan Perguruan Islam (PPI) yang berdiri pada abad ke-20 di Barabai. Kurikulum
sekolah ini tidak semata-mata bermuatan agama, akan tetapi juga pelajaran umum
seperti Aljabar, Ilmu Ukur, berhitung, Ilmu Bumi, dsb. sehingga bisa dikatakan tidak
luput dari pengaruh Modernisme. Hal tersebut juga dilakukan oleh para elite
organisasi Islam SI, Muhammadiyah, NU dan Musyawaratutthalibin dalam membangun
pendidikan Islam di Borneo Selatan melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan.
Mereka berkeyakinan dengan memadukan pola-pola pendidikan Barat dan Islam, umat
Islam bisa lebih maju.
Integrasi Elite
Organsiasi (Islam) dan Upaya menuju Kesadaran Identitas Bangsa
Berbagai aktvitas yang dilakukan oleh organisasi Islam
seperti yang telah dipaparkan di atas, berdampak pada pemaknaan masyarakat terhadap keadaan dirinya
dan lingkungan yang membentuknya. Proses pemaknaan diri dan kesadaran identitas
semakin tampak, ketika berbagai kebijakan pemerintah harus direspon secara
bersama, baik oleh para elite agama maupun kebangsaan.[iv]
Pada bab ini diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan
usaha para elite organisasi Islam dalam membangun kesadaran akan identitas
ke-Indonesiaan. Dimulai dari konflik atau pertentangan yang terjadi di dalam
masyarakat, respon para pemikir untuk mengembalikana hak-hak rakyat Banjar,
serta dampak dari ordonansi sekolah liar bagi pendidikan Islam di Banua Banjar.
berbagai permasalahan tersebut, menggambarkan sebuah dinamika elite organisasi
Islam, yang kemudian memunculkan konsep diri dan akhirnya adanya keinginan
untuk memeroleh sebuah identitas bersama, yaitu identitas Ke-Indonesiaan.
Kesimpulan
Organisasi Islam modern di Borneo Selatan dapat berkembang
karena sebelum kehadiran organisasi Islam tersebut, masyarakat Banjar telah
mengenal organisasi modern seperti Seri Budiman, Budi Sempurna, dan Indra
Buana. Perkumpulan ini cukup menjadi bekal berorganisasi secara modern oleh
para elite islam.
Faktor lain ialah letak geografis Borneo Selatan yang strategis
dan dekat dengan pulau Jawa, merupakan pendukung utama berkembangnya organisasi
Islam di Borneo Selatan setelah faktor perdagangan. Kedekatan dengan Pulau Jawa mengakibatkan
mudahnya komunikasi antara para pedagang Banjar dan Jawa, sehingga organisasi
Islam yang dibawa oleh pedagang banjar mudah berkembang di Borneo Selatan.
Selain itu, masyarakat juga mendukung terhadap kehadiran
organisasi Islam yang berasal dari Jawa ini karena secara sosiokultural,
masyarakat Banjar sangat kental dengan tradisi Islam. Ketika organisasi Islam
hadir di tengah masyarakat Banjar, yang membawa misi keislaman direspon positif
oleh masyarakat.
Komentar
Posting Komentar