Langsung ke konten utama

CATATAN BACA Orang Banjar (Menjadi Indonesia) Dinamika Organisasi Islam di Borneo Selatan 1912-1942



Penulis: Dr. Syaharuddin, M.A
Kota Terbit: Yogyakarta
Penerbit: Eja Publisher



cover bukunya
Buku ini ditulis oleh Dr. Syaharuddin, dosen program studi pendidikan sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Mulanya, buku ini adalah tesis saat beliau menjalani program master di Universitas Gadjah Mada.
Saya mendapatkan buku ini secara langsung dari penulisnya yang tak lain adalah dosen saya sendiri  heheJ. Singkat ceritanya sih, buku ini dijadikan salah satu referensi mata kuliah Sejarah Pendidikan Indonesia saat semester 6. Sebab dalam buku ini memuat aktivitas organisasi islam pada abad ke-20 di Kalimantan Selatan yang saat itu masih bernama Borneo Selatan. Secara tidak langsung, buku ini masih berkaitan dengan mata kuliah tersebut, karena di dalamnya juga memberi gambaran kondisi pendidikan di era kolonial.
Saya akan memberikan sedikit ringkasan dari buku ini.
Ringkasan Buku
Secara umum, buku ini mengkaji nasionalisme lokal masyarakat Banjar pada periode kolonial. Lebih rinci, buku ini berisi gambaran dinamika organisasi Islam yang pernah tumbuh di wilayah Borneo Selatan di abad ke-20. Beberapa organisasi yang disebutkan Dr. Syaharuddin di antaranya Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Musyawaratutthalibin.  Mereka tumbuh dan memiliki peran penting dalam upaya membangun kesadaran awal identitas keindonesiaan masyarakat Banjar melalui berbagai aktivitas, politik, ekonomi, sosial agama, dan terutama pendidikan Islam.[i]
Buku ini terdiri dari 6 bab yang telah disusun dengan sistematis.
Pendahuluan
Bab pertama ini dimulai dengan pemaparan munculnya kesadaran untuk berorganisasi dan mendefinisikan identitas bangsa pada masyarakat Hindia Belanda secara umum, termasuk Borneo Selatan. Kesadaran ini dimulai ketika pribumi  merasakan berbagai  keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan penindasan akibat kolonialisme dan tradisionalisme. Tidak heran, posisi pribumi atau masyarakat asli nusantara  dalam struktur sosial Hindia Belanda berada dalam urutan paling rendah sehingga sering mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Mulai menyadari bahwa pribumi juga memiliki hak yang sama, para elite meresponnya dengan membentuk berbagai macam ogranisasi sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi yang berdiri kemudian menjadi media yang penting dalam merumuskan identitas ke-Indonesiaan.
Di dalam masyarakat Banjar, kesadaran awal kebangsaan muncul dan berkembang bersamaan dengan kelompok elite agama dan elite sekuler. Elite agama adalah para ulama, haji, santri dan orang-orang terpelajar yang kebanyakan berlatar belakang pendidikan Islam. Sedangkan elite sekuler adalah kelompok masyarakat yang telah memperoleh pendidikan barat.
Meski kedua elite tersebut sama-sama mengembangkan organisasi dan bersama-sama membangun kesadaran akan identitas kebangsaan, tampaknya organisasi agama lebih mendominasi dan lebih menarik perhatian masyarakat Banjar. Kultur religius yang melekat di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar membuat elite agama ini sangat terpandang dan mudah diterima pengaruhnya.
Borneo Selatan 1900-an
Dalam bab ini, Dr. Syaharuddin menjelaskan fungsi sungai dan peranan pedagang dalam menyebarkan pengaruh organisasi keagamaan di Borneo Selatan. Secara geografis, Borneo Selatan sangat dekat dengan Pulau Jawa. Selain itu, pada tahun 1900-an keadaan sungai-sungai di Borneo Selatan masih sangat baik dan berperan penting dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Banjar. sungai terbesar yang ada di Borneo Selatan adalah Sungai Barito. Ada lebih dari 45 sungai yang bermuara di sungai ini dan kampung-kampung tumbuh bermukim di sepanjang kiri dan kanan Sungai Barito.  
Sebagai sungai terbesar, Sungai Barito memiliki beberapa cabang sungai yang sangat penting dan alirannya dapat menghubungkan Kota-kota di pedalaman hingga pesisir Borneo Selatan. Adanya aliran-aliran sungai ini sangat berdampak terhadap mobilisasi para pedagang dalam berkomunikasi dengan dunia luar. Begitu pula kedekatannya dengan pulau Jawa. Kedekatan ini menyebabkan banyaknya para pedagang Banjar ke pulau Jawa untuk menjual hasil-hasil panennya, perkebunan, atau mencari barang-barang jadi untuk dipasarkan kembali ke daerahnya. Selama proses itu, maka sedikit banyaknya telah berpengaruh pula terhadap perkembangan politik, ekonomi, budaya dan keagamaan. [ii]
Dr. Syaharuddin juga memaparkan, di antara aspek paling menonjol pada masa kolonial adalah struktur sosial masyarakatnya yang diskriminatif. Status sosial dibedakan berdasarkan warna kulit; pertama adalah masyarakat eropa, kedua adalah Timur Asing dan ketiga adalah pribumi. Akibatnya  hubungan sosial yang terjadi bersifat superioritas dan inferioritas. Maka, dalam hal ini pribumi lah yang termasuk ke dalam golongan inferioritas. Menjadi kelompok yang terdiskriminasi, tentu membuat pribumi menjadi kalah bersaing dari berbagai aspek kehidupan; ekonomi, politik dan pendidikan.
Membangun Identitas Bersama: Dinamika Organisasi Islam di Borneo Selatan
Bab ini secara terperinci menguraikan aktivitas organisasi Islam di Borneo Selatan pada dekade kedua abad ke-20.[iii] Sebelum membahas tentang organisasi, Dr. Syaharuddin terlebih dahulu membicarakan eksistensi Belanda di Bumi Lambung Mangkurat ini yang terlalu mengintervensi Kerajaan Banjar hingga mengubah tatanan sosial politik dan ekonomi masyarakat. Peristiwa penting adalah ketika Kerajaan Banjar dihapus, dan masyarakat menjadi sakit hati karenanya. Dari segi ekonomi, Belanda juga melakukan penetrasi yang menyebabkan kemiskinan rakyat Banjar. 
Kondisi tersebut membuat masyarakat Banjar dan Dayak bergabung menjadi satu dan sama-sama melakukan berbagai pemberontakan melawan Belanda. Keinginan melepaskan diri dari Belanda juga nampak terlihat dari sikap masyarakat Banjar yang toleran terhadap berbagai kehadiran organisasi Islam yang datang dari Jawa. Upaya-upaya yang dilakukan, termasuk mendirikan organisasi Islam secara garis besar ingin menaikkan martabat masyarakat Banjar dan menjadi anti-tesis Pemerintah Kolonial di Tanah Banjar.
Dalam sejarah modern Indonesia, di awal abad ke-20 (1920-1930an) disebut sebagai “the decade of ideologies”. Saat dominasi pemerintah Belanda masih sangat kuat, para elite berkeyakinan bahwa hanya melalui organisasi lah, identitas keindonesiaan bisa dibangun. Oleh sebab itu, organisasi modern bermunculan baik yang berorientasi politik, sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan. Organisasi tersebut antara lain Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905 yang tahun 1911 berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah (1912) sebagai organisasi pembaharu, serta NU yang berorientasi sosial keagamaan.
Pasang surut perjuangan organisasi-organisasi politik dan sosial di daerah ini sangat dipengaruhi oleh pasang surutnya perjuangan organisasi-organisasi yang induknya berpusat di Jawa, yang telah tumbuh dan berkembang terlebih dahulu.
Di Borneo Selatan, selain tumbuh dan berkembangnya berbagai organisasi tersebut juga muncul organisasi yang berorientasi pada agama, yaitu Musyawaratutthalibin (1931), Fatal Islam (1935), Asysyirothol Mustaqim, dan Hidayatul Mustaqiem.  Di antara organisasi lokal tersebut, Musyawaratutthalibin lah yang tumbuh menjadi organisasi lokal terbesar.
Keberadaan organisasi-organisasi Islam ini membawa manfaat dan pengaruh yang nyata bagi kehidupan masyarakat. Kiprah mereka hampir diterima di kota-kota besar di seluruh wilayah Borneo Selatan.
Seperti aktivitas SI di bidang sosial yang sering mengadakan “Pasar Malam Amal”, hasil kegiatan tersebut digunakan untuk perbaikan sekolah-sekolah, langgar-langgar, dan mesjid-mesjid disamping itu juga membantu para fakir miskin, balai pengobatan, dan sebagainya. SI juga diceritakan melakukan usaha di bidang ekonomis  melalui cara-cara politis untuk mengembalikan hak-hak ekonomi rakyat, misalnya dengan mengajukan mosi tentang penghapusan pajak yang memberatkan rakyat.
Berbeda dengan Muhammadiyah, yang berorientasi lebih cenderung ke arah sosial. Ia mendirikan masjid, balai-balai kesehatan dan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Di mana ranting Muhammadiyah berdiri, maka di situ pula sekolah Muhammadiyah dibuka. Eksistensi Muhammadiyah dapat bertahan hingga saat ini, karena orientasi organisasi ini sejak masa kolonial hingga sekarang sangat konsisten dengan nilai-nilai sosial dan pendidikan.
Sedangkan NU didirikan oleh para ulama tradisional. Terlahir karena alasan politis untuk memelihara tradisi keberagamaan paham Ahlussunnah Wal Jamaah terhadap kehadiran dan sikap kaum mudah atau kaum pembaharu.  Untuk menunjukkan eksistensinya, NU melakukan berbagai aktivitas politik dengan mendukung pendirian Partai Islam Indonesia.
Seiring waktu, keberadaan Muhammadiyah dan NU di Tanah Banjar memunculkan konflik atau pertentangan antara elite kedua organisasi tersebut yang sering dikenal dengan istilah pertentangan antara kaum muda dan kaum tua. Perbedaan pendapat yang terjadi, membuat masyarakat berada dalam situasi kebingungan dan sampai  pada titik jenuh. Situasi ini melahirkan pemikiran dari tokoh-tokoh independen yang terdiri atas ulama, guru-guru agama, dan kaum terpelajar untuk mendirikan organisasi baru yang dinamakan Musyawaratutthalibin. Tujuan utamanya ialah berusaha mencapai persatuan di antara umat islam, khususnya para guru dan ulama.
Musyawaratutthalibin berusaha melakukan penyegaran, pencerahan, dan pembaharuan terutama dalam bidang dakwah dan pendidikan. ia mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan pendidikan agama Islam dan pengetahuan umum. menurut mereka, hal ini penting sebab kedua jenis ilmu ini merupakan landasan utama untuk menuju kehidupan yang lebih  baik sesuai dengan kondisi zamannya.
Aktivitas lain ialah turut terlibat menjadi penguru partai politik kebangsaan Perindra, menyantuni anak yatim piatu, dan berhasil mendirikan sebuah percetakan dengan penerbitan majalah dan beberapa buku. Aktivitas menonjol lain adalah dengan pengajuan beberapa permintaan resmi tentang berbagai hal terhadap pemerintah, seperti mosi agar pemerintah menghentikan penerbitan buku-buku yang isinya menghina umat Islam. (sejak dahulu udah ada ya penistaan agama, hehehe).
Menggagas Pendidikan Islam: Resistensi, Kesadaran Identitas dan Modernitas
Aktivitas utama elite Islam pada awal ake-20 di Borneo Selatan ialah Pendidikan Islam atau pendirian sekolah-sekolah Islam. Pendidikan Islam yang dibangun bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat Banjar serta sebagai respon atas kebijakan pemerintah yang cenderung diskriminatif dan mempertajam kesenjangan di antara tiga kelompok dalam struktur masyarakat kolonial, yakni antara kelompok Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Diskriminasi tersebut sangat nampak dari pendirian Hollands Chinnese School pada tahun 1909, sedangkan sekolah Holland Indies School baru didirikan pada tahun 1904.
Hampir semua pendidikan islam yang digagas oleh organisasi Islam dimaksudkan sebagai  upaya meresistensi  dan berkompetisi atas agar harkat martabat Urang Banjar dapat sejajar dengan golongan lainnya. Apalagi, pendirian sekolah oleh pemerintah sangat berpotensi untuk mengurangi dan mengalahkan pengaruh Islam di Nusantara melalui pendidikan Barat atas orang-orang pribumi.
Meski demikian, masyarakat Banjar yang mayoritas muslim tidak menampakkan penolakannya terhadap pendidikan asing. Hal ini cukup menegaskan bahwa Islam yang dianut masyarakat Banjar merupakan ideologi yang menerima sebuah konsep pluralitas, kemajemukan dan modernitas, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Pendidikan Islam yang dibangun oleh elite  Islam, juga terjadi transformasi orientasi pengajaran, dengan mengadopsi kurikulum sekolah pemerintah dengan tetap mengutamakan nilai-nilai agama Islam. Contohnya sekolah kaum pergerakan Persatuan Perguruan Islam (PPI) yang berdiri pada abad ke-20 di Barabai. Kurikulum sekolah ini tidak semata-mata bermuatan agama, akan tetapi juga pelajaran umum seperti Aljabar, Ilmu Ukur, berhitung, Ilmu Bumi, dsb. sehingga bisa dikatakan tidak luput dari pengaruh Modernisme. Hal tersebut juga dilakukan oleh para elite organisasi Islam SI, Muhammadiyah, NU dan Musyawaratutthalibin dalam membangun pendidikan Islam di Borneo Selatan melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan. Mereka berkeyakinan dengan memadukan pola-pola pendidikan Barat dan Islam, umat Islam bisa lebih maju.
Integrasi Elite Organsiasi (Islam) dan Upaya menuju Kesadaran Identitas Bangsa
Berbagai aktvitas yang dilakukan oleh organisasi Islam seperti yang telah dipaparkan di atas, berdampak pada  pemaknaan masyarakat terhadap keadaan dirinya dan lingkungan yang membentuknya. Proses pemaknaan diri dan kesadaran identitas semakin tampak, ketika berbagai kebijakan pemerintah harus direspon secara bersama, baik oleh para elite agama maupun kebangsaan.[iv]
Pada bab ini diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan usaha para elite organisasi Islam dalam membangun kesadaran akan identitas ke-Indonesiaan. Dimulai dari konflik atau pertentangan yang terjadi di dalam masyarakat, respon para pemikir untuk mengembalikana hak-hak rakyat Banjar, serta dampak dari ordonansi sekolah liar bagi pendidikan Islam di Banua Banjar. berbagai permasalahan tersebut, menggambarkan sebuah dinamika elite organisasi Islam, yang kemudian memunculkan konsep diri dan akhirnya adanya keinginan untuk memeroleh sebuah identitas bersama, yaitu identitas Ke-Indonesiaan.
Kesimpulan
Organisasi Islam modern di Borneo Selatan dapat berkembang karena sebelum kehadiran organisasi Islam tersebut, masyarakat Banjar telah mengenal organisasi modern seperti Seri Budiman, Budi Sempurna, dan Indra Buana. Perkumpulan ini cukup menjadi bekal berorganisasi secara modern oleh para elite islam.
Faktor lain ialah letak geografis Borneo Selatan yang strategis dan dekat dengan pulau Jawa, merupakan pendukung utama berkembangnya organisasi Islam di Borneo Selatan setelah faktor perdagangan.  Kedekatan dengan Pulau Jawa mengakibatkan mudahnya komunikasi antara para pedagang Banjar dan Jawa, sehingga organisasi Islam yang dibawa oleh pedagang banjar mudah berkembang di Borneo Selatan.
Selain itu, masyarakat juga mendukung terhadap kehadiran organisasi Islam yang berasal dari Jawa ini karena secara sosiokultural, masyarakat Banjar sangat kental dengan tradisi Islam. Ketika organisasi Islam hadir di tengah masyarakat Banjar, yang membawa misi keislaman direspon positif oleh masyarakat.
tampak belakang

[i] Halaman vii
[ii] Halaman 26
[iii] Halaman 52
[iv] Halaman 144

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkuman Buku DASAR-DASAR EVALUASI PENDIDIKAN edisi 2 Prof. Dr. Suharsimi Arikunto BAB I- IV

BAB I PENDAHULUAN 1.       Pengertian Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi Evaluasi, Pengukuran, dan Penilaian merupakan tiga istilah yang berbeda meski sering diartikan sama tergantung saat penggunaannya. a.        Mengukur (measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Ukuran sendiri mempunyai dua macam, yakni ukuran yang terstandar (seperti meter, kilogram, dsb. ) dan ukuran tidak terstandar (depa, jengkal, langkah, dsb.) b.        Menilai (evaluation) adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif. Penilaian dilakukan setelah mengukur. c.        Evaluasi meliputi dua langkah di atas, yakni mengukur dan menilai. 2.       Penilaian Pendidikan Evaluasi adalahh proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal ...

naskah drama kelas XI smk pasawahan oleh nurdhianti

w   Ringkasan Cerita : Permasalahan di dunia pendidikan seringkali terjadi tanpa kita sadari, atau mungkin kita menyadarinya namun kita ( pendidik maupun yang dididik) tidak mampu  mengendalikannya. Dimulai dari hal-hal kecil seperti peraturan yang tidak sesuai dengan siswa, hubungan antar murid dengan teman sebaya, murid dengan guru, maupun guru dengan murid. Sekolah adalah tempat untuk mengembangkan karakter murid, karena sekolah adalah  rumah kedua setelah rumah orang tua. Enam hari dalam seminggu, kita selalu berada di lingkungan sekolah. Berinteraksi dengan teman sekelas, dengan guru yang mengajar adalah makanan sehari-hari untuk menentukan bagaimana cara kita menghadapi orang lain, entah itu yang tua, ataupun sepantaran. Sekolah bisa diumpamakan dengan laboratorium hidup tempat melakukan berbagai eksperimen kehidupan. Banyak masalah-masalah yang cara menyikapinya adalah embrio dari karakter kita.  Drama ini mengisahkan tentang berbagai permasalahan umum yang t...

RESENSI BUKU “SEJARAH TIMUR TENGAH (ASIA BARAT DAYA)”

Oleh Siti Nurdianti Judul Buku                : Sejarah Timur Tengah  (Asia Barat Daya) Penulis                        : Yusliani Noor Penerbit                      : Ombak Kota Terbit                : Yogyakarta Tahun Terbit             : 2014 Tebal                          :xii+437 halaman Harga                         : Rp....